10 November 2011

Your smile...


Saat hari menjelang petang
Aku turun dari lantai atas
Dan menyaksikan betapa gelapnya langit saat itu.

Aku melihat ke sekitar
Barangkali aku melihat sosokmu
Yang sesekali jarang kutemukan

Gerimis pun turun
Aku pun menyerah hari ini
Mungkin esok lagi akan kujumpai

Saat aku beranjak pulang
Aku akhirnya melihat dirimu
Tampak jelas meskipun gelap

Aku menyapamu, tapi kau hanya diam
Kukira hal itu takkan terbalas
Ternyata kau tampakkan senyum di depan mataku
Yang sangat jarang, bahkan tak pernah kau berikan padaku
Selama ini

Seketika itu juga
Tubuhku terasa meleleh
Meleleh karena rasa bahagia dalam dada

Rasa lelahku saat itu pula berubah
Semangatku hidup lagi
Karena senyum kecilmu itu

Thank you, my penguin.

NB: Ini bukan cerpen ataupun puisi.
Ini hanyalah luapan perasaan penulis saja. :)

07 November 2011

Ilmu Sang Ilmuwan




Gelap. Itulah yang aku rasakan saat ini. Dengan mulut yang beberapa kali menguap akibat kantuk, aku menyimak sesahutan dari seorang ilmuwan kacangan yang berdiri di depan papan tulis itu. Mungkin bagi mereka yang benar-benar memahami apa yang disebut “radioaktif” atau “ikatan kovalen”, itu adalah sebuah ‘pencerahan’ yang kurang lebih, atau sedikit banyak, telah merasuk ke dalam jiwa mereka masing-masing. Namun, bagiku itu tak berbeda dengan racun tikus yang telah membuat diriku terkapar dan kehabisan daya.
Sesekali kupalingkan mukaku ke sekeliling. Melihat raut wajah beberapa temanku yang tampak kosong, aku jadi makin tak percaya diri menghadapi bualan yang sejak dari tadi sudah dilontarkan dari depan kelas oleh ilmuwan tersebut. Beberapa detik kemudian, kantukku tak tertahankan, dan tersandarlah kepalaku di atas meja tulis.
Belum sampai mataku terpejam, aku terkejut karena tiba-tiba wajah ilmuwan itu tepat di depan kedua mataku. Teman-teman sempat menertawaiku karena terpergok telah tidur di dalam kelas, padahal sebenarnya aku belum tidur.
“Hei anak muda. Apa kau sudah bosan akan pencerahanku tentang radioaktif dan ikatan kovalen? Tentunya sikapmu telah membuat aku yakin bahwa kamu sudah sangat paham benar akan ilmu yang sudah kubahas tadi. Setidaknya bergegaslah ke depan dan kerjakan soal yang sudah siap di papan sana,” kata dia.
Bahkan apa yang baru saja ia bicarakan tak ubahnya seperti bunyi kloset WC saat disiram, sangat ‘menyentuh’. Entahlah, demi reputasi dan harga diri terhadap teman-teman, akhirnya kuterima saja tantangannya meskipun aku tak tahu sama sekali singa macam apa yang telah menantiku di papan tulis.
Dengan perjuangan penuh keringat, sampailah aku di depan. Kutengok papan tulis secara perlahan. Keringatku kembali bercucuran melihat betapa indahnya soal yang dibuat, membuat mataku silau dan pikiranku kemana-mana. Kuambil spidol dan kucoreti sedikit bagian bawah soal untuk meyakinkan teman-teman bahwa aku sudah sangat paham benar akan ilmu yang telah diajarkan si ilmuwan.
Aku pun selesai dengan urusanku dan berbalik dari papan tulis. Si ilmuwan itu mengamati hasil kerjaku di papan tulis. Dia terlihat sangat kecewa.
“Apa-apaan ini? Apakah selama ini aku mengajarimu untuk membuat tanda tanya di setiap penyelesaian soal kimia? Kamu gila ya!?” katanya dengan sedikit berteriak.
“Tidak Pak.”
“Jadi selama ini kamu anggap aku apa, ha? Kentut yang berlalu begitu saja!?”
“Ya Pak. Mungkin.”
Benar saja, yang kutulis di depan papan tulis hanyalah berbagai macam bentuk tanda tanya lengkap dengan titiknya, tanpa jawaban yang benar. Muka ilmuwan itu menjadi sangat merah, terlihat seperti akan meledak dan ingin menyemburkan segala isinya ke arahku. Sesaat kemudian, dia tiba-tiba tersenyum, meluluhkan segala ketegangan di tubuhku. Lalu dia mengambil sebuah buku dari dalam tasnya. Buku itu ternyata “1000 Contoh Soal Kimia Tingkat Lanjut,” buku kesayangan si ilmuwan.
“Bawalah buku ini dan kerjakan setiap soal yang ada di dalamnya. Kumpulkan esok pagi.”
Aku terbelalak mendengar pernyataan tersebut. Padahal satu soal saja aku sudah bingung setengah mati, apalagi kalau seribu, apalagi pula kalau dikumpulkan esok harinya. Aku pun tak sadarkan diri dan jatuh pingsan.
Saat aku terbangun, kepalaku terasa menempel di atas meja tulis. Ternyata, aku sadar bahwa ilmuwan di depan mataku tadi dan seribu soal yang kuterima hanyalah mimpi belaka. Aku juga masih berada di tempat dudukku. Kutanya teman sebangku dengan mataku yang masih terkantuk-kantuk.
“Apa ini masih pelajaran?”
“Ya. Kenapa?”
“Oh, tidak apa-apa. Memangnya pelajaran apa sekarang?”
“Kimia.”
Setelah mendengar hal itu, aku segera menguap, mengantuk, dan kembali tidur.



NB: Cerpen ini:
99% based on the true story.
99% tidak cocok bagi pecinta kimia
99% tidak cocok bagi kimiawan
99% cocok bagi yang suka tidur di kelas.